Asia Tenggara telah menjadi pusat inovasi yang dinamis untuk mata uang kripto dan aset digital, menarik perhatian investor dan startup global. Namun, potensi ini juga dibarengi dengan risiko tinggi, yang mendorong pemerintah di kawasan ini, khususnya Singapura, Indonesia, dan Thailand, untuk berlomba-lomba menyusun kerangka regulasi yang kuat dan jelas.
Singapura memimpin dengan pendekatan yang relatif progresif, berfokus pada pelisensian yang ketat dan pencegahan pencucian uang (AML/CFT). Mereka berupaya menarik perusahaan Fintech dan crypto exchange yang kredibel sambil melindungi investor ritel melalui aturan yang jelas mengenai layanan token pembayaran. Tujuannya adalah menjadi hub aset digital yang teratur.
Indonesia, melalui BAPPEBTI dan Bank Indonesia, mengambil sikap hati-hati, mengakui aset kripto sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan, tetapi melarang penggunaannya sebagai alat pembayaran. Fokus regulasi adalah pada perlindungan konsumen, keamanan transaksi, dan pembatasan investasi yang terlalu spekulatif.
Thailand juga telah menerapkan kerangka regulasi yang melibatkan pengawasan ketat terhadap exchange dan mewajibkan pendaftaran aset digital. Meskipun tujuannya adalah memfasilitasi inovasi, pengetatan aturan seringkali menimbulkan tantangan bagi pertumbuhan pasar. Konsistensi dan harmonisasi regulasi di kawasan ini menjadi kunci untuk kemajuan ekosistem kripto di masa depan.
Intisari: Negara-negara Asia Tenggara (Singapura, Indonesia, Thailand) berlomba menyusun regulasi kripto yang kuat untuk menyeimbangkan inovasi dan perlindungan investor; Singapura fokus pada pelisensian ketat, Indonesia pada status komoditas, dan Thailand pada pengawasan ketat exchange.

