Pasar e-grocery (belanja bahan makanan online) adalah medan pertempuran terbaru dan terpanas di industri e-commerce Indonesia. Pandemi COVID-19 menjadi katalisator yang mengubah perilaku konsumen secara drastis, memindahkan belanja sayur, daging, dan kebutuhan pokok dari pasar tradisional ke layar smartphone.
Para pemain besar, dari marketplace raksasa (seperti Tokopedia dan Shopee) hingga aplikasi ride-hailing (Gojek dan Grab), semua terjun ke sektor ini. Mereka bersaing dengan pemain quick-commerce yang lebih gesit (seperti Astro atau Bananas) yang menjanjikan pengiriman instan dalam 15-30 menit.
Tantangan terbesar di perang e-grocery adalah logistik cold-chain (rantai dingin). Menjaga kesegaran sayuran, buah, dan daging dari supplier hingga ke tangan konsumen adalah operasi yang sangat kompleks dan mahal. Para pemain bertarung dalam membangun jaringan dark store (gudang mikro) di lokasi strategis untuk mempercepat pengiriman.
Pertarungan ini bukan hanya soal harga diskon atau cashback. Ini adalah pertarungan memperebutkan habits (kebiasaan) dan loyalty (loyalitas) konsumen. Siapa yang bisa memberikan kualitas produk paling konsisten, pilihan SKU (jenis barang) terlengkap, dan pengalaman pengiriman paling andal, dialah yang akan memenangkan “dapur” konsumen.
Pasar ini masih jauh dari konsolidasi. Perang ini akan memakan banyak “bakar uang” dan menuntut efisiensi operasional tingkat tinggi. Pemain yang gagal mengelola logistik rantai dingin dan unit economics mereka dipastikan akan gugur dalam perebutan pasar yang bernilai triliunan rupiah ini.

