0
0
Banyak negara besar di Asia telah membuat janji ambisius untuk mencapai netralitas karbon dalam beberapa dekade mendatang, sebuah langkah yang sangat krusial mengingat kawasan ini adalah penghasil emisi terbesar di dunia. Pengumuman ini mencakup rencana investasi besar-besaran dalam energi terbarukan, dekomisioning pembangkit listrik tenaga batu bara, dan adopsi teknologi penangkapan karbon. Ini menunjukkan adanya kesadaran politik yang meningkat terhadap ancaman iklim.
Namun, para kritikus dan aktivis lingkungan mempertanyakan apakah janji-janji ini akan terealisasi, mengingat terus berlanjutnya pembangunan infrastruktur bahan bakar fosil baru dan ketergantungan ekonomi yang mendalam pada batu bara. Transisi energi di Asia menghadapi hambatan besar, termasuk kebutuhan investasi triliunan dolar, risiko stranded assets, dan potensi dampak sosial terhadap pekerja di sektor industri yang akan tergeser.
Di sisi lain, perkembangan teknologi energi terbarukan di Asia, terutama di Tiongkok dan India, menunjukkan kemajuan yang pesat dan penurunan biaya yang signifikan. Investasi dari sektor swasta juga mulai mengalir ke proyek-proyek hijau, didorong oleh kebijakan green finance yang semakin ketat dan insentif pajak.
Keberhasilan upaya kolektif Asia untuk mencapai netralitas karbon sangat bergantung pada penyediaan pembiayaan iklim yang adil dari negara-negara maju dan komitmen politik yang teguh untuk memprioritaskan keberlanjutan di atas pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Perlu adanya peta jalan yang jelas dan terikat hukum.
Meskipun banyak negara Asia telah menjanjikan netralitas karbon dan berinvestasi besar pada energi terbarukan, realisasi janji ini masih dipertanyakan mengingat ketergantungan pada bahan bakar fosil dan membutuhkan dukungan pendanaan iklim yang substansial.
