London – Teknologi deepfake—video, audio, atau gambar yang dimanipulasi dengan AI agar tampak sangat realistis—telah berkembang dari hiburan menjadi ancaman keamanan nasional dan keuangan yang serius. Menjelang serangkaian tahun pemilu di berbagai negara besar, risiko penyebaran disinformasi berbasis deepfake meningkat tajam, berpotensi memicu kekacauan politik dan kepanikan pasar.
Di arena politik, deepfake dapat digunakan untuk menyebarkan pernyataan palsu yang dibuat seolah-olah diucapkan oleh seorang kandidat, merusak reputasi mereka secara instan dan masif. Di sektor keuangan, para ahli memperingatkan tentang potensi penipuan CEO (CEO fraud) yang lebih canggih, di mana pelaku menggunakan deepfake suara untuk menginstruksikan transfer dana besar kepada eksekutif yang dikloning. Kasus-kasus ini sulit dideteksi karena kualitas deepfake yang makin mendekati sempurna.
Respons yang dibutuhkan mencakup tiga pilar: Teknologi Deteksi, di mana perusahaan keamanan siber sedang mengembangkan alat watermarking dan verifikasi metadata yang lebih canggih; Regulasi, yang mewajibkan platform media sosial untuk segera memberi label pada konten yang dimanipulasi AI; dan Literasi Publik, dengan mendidik masyarakat agar selalu skeptis terhadap konten yang terlalu mengejutkan atau sensasional, terutama yang muncul di masa-masa sensitif.